sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/10/13/58/514567/procrastination-nite
Banyak orang ingin tahu mengapa semakin banyak orang dari bangsa ini yang senang menunda-nunda pekerjaan. Jalan-jalan berlubang di kampung tempat tinggal saya, misalnya, kalau belum menjadi kubangan dalam belum ada perbaikan.
Kalaupun diperbaiki, kami semua harus menunggu sampai akhir tahun. Alhamdulillah, akhirnya Oktober ini lubang-lubang dalam itu sudah rata. Di Ambon, beberapa hari lalu seorang bapak menangis bercampur marah karena petugas PLN terlambat datang mengurus jaringan listrik yang bocor. Seorang anak kecil menjadi korban, tersetrum listrik dari air di bak mandi.
Di Medan, puluhan ibu-ibu mengamuk kepada petugas sebuah airlines di bandara, yang terkesan menggampangkan dan tidak cepat menangani keluarga mereka yang menumpang pesawat yang jatuh di lereng Pegunungan Bahorok. Media massa memberitakan, kalau cepat ditangani, kemungkinan besar beberapa korban masih hidup. Akhirnya keberangan publik semakin jelas menyaksikan lambatnya penyerapan APBN di hampir semua kementerian Republik Indonesia.
Seorang pejabat di Kementerian Keuangan pernah mengatakan, hingga akhir Februari lalu, anggaran pada 10 kementerian baru bisa menyerap 5%. Ini berarti mereka tidak langsung bekerja begitu DIPA diterima bulan Januari. Akibatnya, wajar kalau hingga Oktober tahun ini daya serap anggaran masih berkisar 50%. Ada yang bilang sudah sebesar 70%, tetapi banyak orang yang meragukannya.
Tapi, syukurlah, Anda hidup di Negeri Sangkuriang. Bahkan gedung-gedung olahraga yang sudah lama dianggarkan untuk pergelaran kompetisi SEA Games yang mencemaskan banyak pihak diramalkan akan jadi juga pada detik-detik terakhir. Selain Negeri Sangkuriang, Indonesia juga dikenal dengan tradisi ketok magic. Jangan tanya bagaimana caranya, pokoknya percaya saja.
Semua akan beres, selesai pada waktunya. Namun jangan tanya kualitasnya, apalagi check & balancenya. Sudah hampir pasti kerja seperti itu banyak masalahnya. Sepertinya ada masalah besar dalam business process di negeri ini, tetapi entah mengapa, walaupun sudah diperbaiki, tetap saja banyak masalahnya. Kalau prosesnya tidak tepat, apa yang bisa diharapkan pada hasilnya? Good process–great result! Nah kalau prosesnya saja sembarangan, bagaimana output-nya?
Prokrastinasi
Karena hal serupa terjadi berulang-ulang, sudah pasti pemerintah tahu apa yang menyebabkannya. Dulu, anggaran pemerintah baru bisa cair setelah bulan Juni. Perlahan-lahan diperbaiki menjadi bulan Maret dan sekarang sudah bisa dicairkan sejak awal tahun. Tapi masalahnya, mengapa bagian terbesar anggaran ini tetap dihabiskan setelah September? Bukankah ini berarti ”pikiran” aparat birokrasi belum berubah?
Sikap mental yang sering menunda-nunda itu dalam ilmu perilaku dikenal sebagai procrastinator (prokrastinator). Seseorang yang melakukan procrastination (prokrastinasi) punya tendensi mengganti pekerjaan-pekerjaan high priority dengan pekerjaan-pekerjaan low priority. Orang-orang seperti ini biasanya pencemas yang senang menunda-nunda pekerjaan. Prokrastinator mengatakan mereka bisa bekerja bagus dalam suasana di bawah tekanan (under pressure).
Nah dalam birokrasi yang lembek dan lamban, mereka mendapatkan pembenaran. Tapi jangan cepat-cepat percaya bahwa kerja seperti itu bagus. Ada ilmu yang mengatakan sebenarnya prokrastinasi adalah bawaan lahir (human nature) sehingga kalau tidak dibentuk, semua manusia akan menunda-nunda pekerjaannya. A sense of timelessness ada dalam masyarakat suku-suku tertentu, bahkan berlaku sampai sekarang.
Bahkan orang-orang Barat memberi label prokrastinasi kepada orang-orang Afrika sebagai African Time. Di Benua Afrika kebiasaan buruk tidak menepati waktu antara lain dibentuk oleh orientasi waktu polikronik, yaitu kebiasaan mengerjakan banyak hal sekaligus. Adapun di Barat, orang-orang terbiasa menganut budaya monokronik, satu program sampai tuntas.
Lantas dari mana sumber etika ketepatan waktu? Para ahli percaya, etika ketepatan waktu berasal dari seorang ulama Yahudi bernama Hilec (100 BCE) yang mengajukan pertanyaan seperti ini: ”Jika saya bukan untuk diri saya, siapa yang akan melakukannya bagi saya? Tapi jika saya hanya untuk diri saya saja, siapakah saya? Dan bila tidak sekarang, kapan?” Prokrastinasi atau menunda-nunda pekerjaan, tidak taat pada waktu, dianggap sebagai perilaku yang tidak etis, selfish, dan merugikan orang lain.
Di Barat, berlaku pepatah, ”If not now, when?” Kalau bukan sekarang, kapan? Pepatah ini membuat banyak pendidikan kepemimpinan mengarahkan calon-calon pemimpin untuk tidak menunda-nunda masalah. Masalah harus cepat didiskusikan, direncanakan, dan diatasi. Dalam ilmu manajemen dikenal istilah time management yang marak diberikan dalam berbagai workshop di sekitar era 1980-an. Bukan hanya sikap mental yang mereka bentuk, melainkan juga alat-alat pencatat (agenda kerja) banyak.
Stephen Covey bahkan membagi orientasi waktu manusia ke dalam empat kategori. Generasi pertama adalah manusia dengan alat bantu waktu (jam) yang berfungsi memberi peringatan (alarm atau wake up call). Generasi kedua adalah time management dengan perencanaan dan kalender. Pada generasi ketiga, dimasukkan unsur perilaku seperti bekerja dengan prioritas, menjabarkan prinsip-prinsip pareto (bahwa 80% hasil yang didapat ternyata banyak diperoleh dari 20% pekerjaan yang penting), dan mengedepankan tata nilai.
Namun orientasi waktu generasi keempat sudah dikaitkan dengan tata kelola dengan menggunakan berbagai peralatan teknologi. Waktu berjalan, para ahli telah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa yang unggul bukanlah bangsa yang mengorbankan waktu dan bekerja tanpa memikirkan prioritas. Semakin sering suatu bangsa mengabaikan timeline, seperti yang Anda lihat, semakin fragile (mudah rusak, berisiko gagal) bangsa itu.
Punctuality Nite
Di Afrika, kebiasaan menunda-nunda waktu dirasakan banyak pebisnis sebagai penyakit menular yang sama bahayanya dengan HIV-AIDS. Maka pada Oktober empat tahun yang silam para pebisnis di Republik Pantai Gading bekerja sama dengan pemerintah menyelenggarakan pesta budaya untuk memerangi budaya jam Afrika. Mereka menggelar kompetisi ketepatan waktu berhadiah sebuah vila seharga Rp1 miliar.
Menurut Reuters, kompetisi itu dilakukan untuk membangun kesadaran tentang besarnya kerugian yang dialami bangsa dari perilaku bekerja tanpa memperkirakan waktu. Kompetisi itu ditutup dengan malam kesenian disebut punctuality night (malam ketepatan waktu) dengan subtema: African time is killing Africa–let’s fight it! Saya berpikir, pemerintah yang baik tidak hanya peduli membangun bangsanya dengan hanya membangun infrastruktur fisik berupa jalan tol, pelabuhan, bendungan, dan gedung-gedung bertingkat saja. Pemerintah yang hebat perlu membangun budaya, yaitu budaya respek. Ini adalah budaya yang hampir hilang dari kehidupan sehari-hari. Orang-orang yang menghargai waktu adalah orang-orang yang memiliki budaya respek.
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
No comments:
Post a Comment