Search This Blog

Wednesday, August 31, 2005

[^] Bahaya Menganggap Enteng Dosa

Ketahuilah –semoga Allah menyayangi kita semua- bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah telah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengikhlaskan taubat, Ia berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 8 yang artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”

Allah telah memberi karunianya kepada kita dengan memberi kesempatan untuk bertaubat yaitu sebelum malaikat yang mulia mencatatnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda yang artinya : “ Sesungguhnya malaikat yang berada disebelah kiri menahan dari menulis kesalahan hamba yang muslim selama enam jam, apabila ia menyesal dan meminta ampun kepada Allah maka malaikat akan membiarkannya, tetapi apabila tidak, maka dicatatnya sebagai satu kesalahan. “ H.R. Thabrani dalam “ Al-Mu’jam Al-Kabir “, dan Al-Baihaqi dalam “Syu’abul Iman”, dihasankan oleh Syaikh Al-Bani dalam “ Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah” no. 1209

Dan kesempatan yang lain setelah ditulisnya tetapi sebelum datangnya ajal. (Arti “jam” pada hadits diatas ada kemungkinan jam yang kita kenal atau berarti waktu sesaat di malam atau siang hari, “Lisanul Arab sin, wau, ‘ain- “Faidhul Qadir” oleh Imam Al-Munawi).

Musibah yang banyak menimpa manusia hari ini adalah mereka tidak berharap kepada Allah, sehingga mereka siang malam selalu berbuat maksiat dengan berbagai macam dosa kepada-Nya, diantara mereka ada segolongan yang ditimpa musibah “menganggap kecil dosa” , maka engkau lihat salah seorang mereka menganggap enteng dosa-dosa kecil yang ia lakukan, seperti dengan mengatakan : “memandang dan berjabat tangan dengan wanita yang bukan muhrim tidaklah berakibat apa-apa”. Dan mereka menikmati pandangan-pandangan haram yang terdapat di majalah-majalah dan film-film seri, sampai-sampai sebagian dari mereka apabila tahu tentang haramnya suatu masalah ia bertanya dengan nada meremehkah : “Berapa besarnya dosa tersebut? Apakah ia dosa besar atau dosa kecil?”

Apakah engkau mengetahui kenyataan yang ada maka bandingkanlah dengan dua atsar berikut ini yang terdapat dalam Shahih Bukhari -semoga Allah merahmatinya- :

Dari Anas Radhiallahu 'anhu, ia berkata : “sesungguhnya kalian berbuat amalan yang menurutmu lebih halus dari rambut, tetapi kami di masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menganggapnya sebagai dosa besar yang membinasakan.

Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Sesungguhnya seorang mu’min, ia melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk dibawah gunung, ia takut kalau gunung itu jatuh menimpanya. Dan sesungguhnya seorang fajir (yang banyak berbuat dosa) melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang hinggap di hidungnya maka ia berbuat demikian menggerakkan tangannya maka ia mengusirnya.

Maka tidaklah mereka (yang menganggap enteng suatu dosa) memikirkan betapa bahayanya perkara ini, padahal Nabi mereka Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda yang artinya : “ Hati-hatilah kalian dengan dosa kecil, sesungguhnya perumpamaan dosa-dosa kecil bagaikan satu kaum yang turun kepada kembah, maka seorang datang membawa kayu bakar, dan yang lainnya membawa sepotong juga, sehingga mereka membawa sesungguhnya dosa-dosa kecil membinasakan pelakunya ketika ia dihisap.” Dan dalam riwayat lain : “Hati-hatilah kalian terhadap dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu apabila berkumpul pada orang tersebut akan membinasakannya.” H.R. Ahmad (lihat Shahih Al Jami’ no. 2686-2687)

Para ulama menyebutkan bahwa dosa kecil yang dibarengi dengan tidak adanya malu, tidak perduli, tidak ada rasa takut kepada Allah, ditambah dengan sikap meremehkannya akan mengakibatkan terjerumus ke dalam dosa besar, bahkan dosa kecil tadi berubah menjadi setingkat dengan dosa besar. Oleh karena itu tidaklah disebut dosa kecil apabila dilakukan terus-menerus, dan tidaklah disebut dosa besar apabila dibarengi dengan bertaubat (istigfar).

Dan kami mengatakan kepada orang yang keadaannya demikian : “Janganlah engkau melihat kepada kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada siapa engkau berbuat maksiat.”

Semoga kata-kata ini dapat bermanfaat bagi orang-orang yang benar, yaitu mereka yang selalu merasa penuh dosa dan kelalaian, bukan mereka yang tidak peduli terhadap kesesatan mereka dan bukan pula mereka yang terus menerus dalam kebatilan.

Sesungguhnya kata-kata ini untuk mereka yang beriman kepada firman Allah :
( نبىّء عبادى أنىّ أنا الغفور الرحيم )

“ Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang “ (Q.S. Al Hijr 49)

Selain itu mereka beriman pula kepada firman-Nya :
(وأنّ عذابى هو العذاب الأليم)
“Dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih.” (Q.S. Al Hijr 50)

Sunday, August 28, 2005

[*] Jama'ah yang Efektif

Mungkin jauh lebih realistis untuk mencari jama'ah yang efektif ketimbang mencari jama'ah yang ideal. Kita adalah ummat yang sakit. Setiap kita mewarisi kadar tertentu dari penyakit tersebut. Jika orang-orang sakit itu saling bertemu dalam sebuah jama'ah, pada dasarnya jama'ah itu juga merupakan jama'ah yang sakit. Itulah faktanya.

Tapi tugas kita menyalakan lilin, bukan mencela kegelapan. Jama'ah yang efektif adalah jama'ah yang dapat mengeksekusi atau merealisasikan rencana-rencananya. Kemampuan eksekusi itu lahir dari integrasi antara berbagai elemen; ada sasaran dan target yang jelas, strategi yang tepat, sarana pendukung yang memadai, pelaku yang bekerja dengan penuh semangat, lingkungan strategi yang kondusif.

Jama'ah yang didirikan untuk kepentingan menegakkan syariat Allah Swt di muka bumi, akan menjadi efektif apabila ia memiliki syarat-syarat berikut ini;

Pertama, ikatannya aqidah, bukan kepentingan. Orang-orang yang bergabung dalam jama'ah itu disatukan oleh ikatan aqidah, dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan Islam. Mereka tidak disatukan oleh kepentingan duniawi yang biasanya lahir dari dua kekuatan syahwat; keserakahan (hubbud dunya) dan ketakutan (karahiatul maut).

Kedua, jama'ah itu sarana, bukan tujuan. Jama'ah itu tetap diposisikan sebagai sarana, bukan tujuan. Sehingga tidak ada alasan untuk memupuk dan memelihara fanatisme sekadar untuk menunjukkan kesetiaan pada grup. Hilangnya fanatisme juga memungkinkan jama'ah- jama'ah itu saling bekerja sama diantara mereka, membangun jaringan yang kuat, dan tidak terjebak dalam pertarungan yang saling mematikan.

Ketiga, sistem, bukan tokoh. Jama'ah itu akan menjadi efektif jika orang-orang yang ada di dalamnya bekerja dengan sebuah sistem yang jelas, bukan bekerja dengan seseorang yang berfungsi sebagai sistem. Pemimpin dan prajurit hanyalah bagian dari strategi, sistem adalah sesuatu yang terpisah. Dengan cara ini kita mencegah munculnya diktatorisme dimana selera sang Pemimpin menjelma menjadi sistem.

Keempat, penumbuhan, bukan pemanfaatan. Sebuah jama'ah akan menjadi efektif jika ia memandang dan menempatkan orang-orang yang bergabung ke dalamnya sebagai pelaku-pelaku, yang karenanya perlu ditumbuh- kembangkan secara terus menerus, untuk fungsi pencapaian tujuan jama'ah itu. Jama'ah itu akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi perkembangan kreativitas individunya, dan tidak memandang mereka sebagai pembantu-pembantu yang harus dipaksa bekerja keras, atau sapi- sapi yang dungu yang harus diperah setiap saat.

Kelima, mengelola perbedaan, bukan mematikannya. Jama'ah yang efektif selalu mampu mengubah keragaman menjadi sumber kreativitas kolektifnya. Dan itu dilakukan melalui mekanisme syuro yang dapat memfasilitasi setiap perbedaan untuk diubah menjadi konsensus..

Wednesday, August 24, 2005

[^] Diam Itu - Tidak Selamanya - Emas

“Orang yang diam terhadap suatu kemungkaran ibarat setan yang bisu” (Abu Ali bin Daqqaq). Diam ternyata tidak selamanya bernilai emas atau baik. ketika kita diam terhadap suatu kemungkaran, misalnya, maka itu akan sama halnya dengan tidak baik. Bahkan, Rasulullah SAW menyamakan diam tersebut dengan ikut membiarkan suatu keburukan terjadi. Bahkan pada diam ketika mampu untuk mencegahnya, bisa sama dengan telah ikut melakukan keburukan tersebut.

Makanya sangatlah wajar kalau Abu Ali bin Daqqaq mengibaratkan orang yang diam dalam keadaan demikian itu dengan setan. Memang kadangkala, kita tidak mampu memahami diri, apakah sedang diam terhadap kemungkaran atau sedang melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Hal ini terjadi karena bisa jadi kemungkaran itu sedang dilakukan oleh orang-orang tertentu seperti oleh kerabat, orang-orang yang disegani atau mungkin oleh diri sendiri. Dalam posisi demikian, sebahagian kita amat sulit untuk tegas, sehingga terjadilah yang namanya ketidakadilan. Ketidakadilan yang dimaksud adalah, kita baru mampu melihatnya sebagai suatu kemungkaran manakala dilakukan oleh orang lain, terutama oleh orang-orang yang berseberangan pendapat dengan kita.

Padahal Allah menganjurkan kita untuk selalu menegakkan keadilan, tak terkecuali untuk diri sendiri. Berkenaan dengan hal ini, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjaan” (QS an-Nisaa`: 135)

Friday, August 19, 2005

[+] Ada Saatnya Untuk Berhenti...

Waktu memang tak pernah berhenti berjalan, meski manusia di dalamnya tak bergerak sekali pun. Beruntunglah orang-orang yang selalu mengisi kehidupannya dengan berbagai macam kegiatan dan amalan. Semangat dan tekad yang kuat di dalam hati memang mampu membuat manusia bergerak layaknya air yang mengalir,terus bergerak mengikuti arus.

Ketika kita yakin bahwa hidup ini cuma sekali dan dunialah tempat kita menempa amal, mempersiapkan bekal yang terbaik sebelum akhirnya memasuki akhirat yang kekal, maka sepatutnya kita paham bahwa tak ada waktu yang boleh disia-siakan. Begitu banyak yang bisa dan harus kita kerjakan. Bahkan terkadang kita merasa bahwa waktu 24 jam yang diberikan masih kurang jika harus dibagi untuk mengerjakan amanah pekerjaan, kuliah, dakwah, keluarga, dan mengurusi diri sendiri.

Berlomba-lombalah dalam mengerjakan kebaikan, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kita kerjakan. Tapi terkadang ketika kita begitu sibuk mengerjakan amanah, ada hal-hal yang kita abaikan. Saudaraku, cobalah bertanya pada diri sendiri. Jujurlah pada nurani. Sudahkah hak-hak diri kita tunaikan? Apakah ibadah kita tetap terjaga? Atau justru tilawah semakin berkurang dan malam demi malam selalu terlewatkan tanpa sempat sujud meski hanya dua rakaat di sepertiga malam?

Ibarat orang yang sedang melakukan perjalanan jauh, maka sesekali perlu berhenti untuk beristirahat atau mengisi bahan bakar kendaraan. Seperti itulah layaknya kita. Ketika bergerak, harus ada waktu dimana kita mengisi kekuatan, menenangkan pikiran, baru kemudian bergerak lagi. Rasakanlah betapa kosongnya hati ketika salat kita tak lagi khusyuk (bahkan terburu-buru), tilawah kita tak pernah mencapai target, Dhuha tak sempat dilakukan, dan akhirnya malam hanya meninggalkan lelah yang amat sangat. Apakah itu yang kita rasakan saat ini?Jika iya, maka berhentilah sejenak. Sejenak saja... tanyalah pada diri, sudah sejauh mana kita tidak lagi tawazun (seimbang) pada diri? Saudaraku, benahilah kembali hak-hak diri dan orang lain yang selama ini mengkin terabaikan. Shalatlah sambil mengingat dosa-dosa yang mungkin sering kita lakukan tanpa kita sadari. Perbanyak doa agar kita selalu diberi kekuatan dan kesabaran. Bacalah Al-quran sambil merenungkan maknanya. Kerjakan amalan sunnah yang selama ini mungkin jarang sekali tersentuh.


Beruntunglah orang yang melakukan tasbih (shalat) ketika manusia sedang tertidur.
Ia pendam keinginannya diantara tulang rusuknya (dadanya).
Dalam suasana yang diliputi ketenangan yang khusyu.
Berdzikir kepada Allah sedang air matanya mengalir.
Kelak air matanya itu di kemudian hari akan menjadi pelita.
Guna menerangi jalan yang ditempuhnya di hari perhimpunan.
Seraya bersujud kepada Allah di penghujung malam.
Kembalilah kepada Allah dengan hati yang khusyu.
Dan berdoalah kepada-Nya dengan mata yang menangis.
Niscaya Dia akan menyambutmu dengan pemaafan yang luas.
Dan Dia akan menggantikan semua keburukanmu itu.
Dengan kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepadamu tanpa habis-habisnya.
Semua pemaafan itu diberikan bagi hamba yang kembali pada-Nya.
Sebagai karunia yang berlimpah dari Pencipta alam semesta.
Bagi orang-orang yang segera bertaubat kepada-Nya
(gubahan Walid)

Berhenti sejenak bukan berarti lantas mematahkan langkah dan menghambat tujuan. Justru kita harus berhenti sejenak untuk mengisi kekuatan kita dan melihat apa saja yang telah kita lakukan. Karena kita adalah manusia, bukan batu karang yang tetap berdiri meski diterjang ombak. Karena kita adalah manusia, bukan gunung tinggi yang tetap kokoh meski diterpa angin kencang.

Thursday, August 18, 2005

[^] Mengucap Insya Allah

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali dengan menyebut “Insya Allah” (QS al-Kahfi: 23-24).

Meskipun banyak orang merasa lega dengan ditandatanganinya kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki, namun terwujudnya suasana damai setelah itu tidak bisa dikatakan pasti. Sebab, manusia sebagaimana dimahfumkan oleh Sang Pencipta, Allah SWT, tidak akan tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Karena keterbatasan pengetahuan itulah, yang agak tepat untuk dikatakan adalah: dengan penandatanganan kesepakatan damai itu, insya Allah akan terwujud perdamaian antara kita di masa selanjutnya.

Pembubuhan kata “insya Allah” harus selalu diupayakan dalam setiap pekerjaan manusia. Sebab, manusia hanya diwajibkan berusaha sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, selanjutnya adalah urusan Allah. Ketika dibubuhi dengan kata “Insya Allah” yang berarti kalau Allah menghendaki, maka dengan sendirinya perjanjian damai itu akan bermakna akan terjadi kalau Allah menghendaki. Bisa jadi, dan sering terjadi dalam kenyataan, apa yang telah diupayakan manusia dengan seyakin-yakinnya akan tercapai sebagaimana yang diharapkan belakangan tidak demikian, mungkin karena sesuatu hal di luar dugaan kita.

Adanya dugaan ini bukan bermaksud untuk memperkecil harapan dari usaha besar manusia tersebut, tetapi lebih untuk menunjukkan kerendahan hati kita sebagai hamba-hambaNya yang dhaif sekaligus menunjukkan pengakuan kita terhadap ke-MahaKuasa-an Allah terhadap segala sesuatu, termasuk terhadap usaha kita itu.

Lagipula, Allah menghendaki kita sebagai hamba-hambaNya untuk berlaku demikian, sebagaimana peringatanNya terhadap Rasulullah SAW dalam ayat di atas. Insya Allah, cita-cita damai kita tercapai.

Saturday, August 13, 2005

[*] Episode : Tadhiyyah dan Tsabat Li'ilaikalimatillah

Hari itu, barisan para pemberani berderap rapi seperti gigi sisir yang indah. Langit Madinah menjadi saksi, kuntum-kuntum azzam yang menggelora dalam setiap dada. Mereka berkumpul, bersiap dengan semerbak iman. Di sana, ada sesosok manusia yang mereka cinta sepenuh nafas di raga, Nabi Muhammad SAW. Dari bibir manisnya, sebuah seruan indah bergaung dengan sempurna. Angin sahara menyemilirkan sabda Rasulullah ke setiap gendang telinga para sahabat yang terpanggil untuk pergi.

Bukan sembarang pergi, karena berperjalanan menempuh banyak lembah kali ini tidaklah untuk bersenang. Nabi yang Ummi, kekasih yang sungguh mereka cintai dengan begitu benderang, mengembankan sebuah amanah. Berjihad.

Sebelum pergi, mereka mendengar untaian pesan nabi. Sebuah taklimat yang mereka patri dalam-dalam di relung dada:"Pabila Zaid syahid atau terluka, maka panglima kalian adalah Ja'far bin Abi Thalib.Jikalah Allah mentakdirkan Ja'far gugur dan terluka,adalah Abdullah bin Rawahah yang kan menggantikannya.Dan ketika Abdullah pun mengalami hal serupa, kalian diperkenankan memilih sendiri panglima pemberani"Sebelum berderap menuju medan pertempuran, mereka masih juga mendengar dengung indah lantunan perintah Rasulullah, yang disemat baik-baik oleh para perindu surga :"Jangan bunuh anak kecil,jangan bunuh perempuan, jangan menebang pepohonan, dan janganlah engkau menghancurkan rumah tempat bernaung"Mereka pergi dengan banyak tengadah, kepada yang Maha Perkasa.

Mereka berbaris menjauhi Madinah dengan banyak pinta yang dilantunkan oleh kaum Muslimin, semoga para ksatria kembali dengan membawa kemenangan. Berita keberangkatan pasukan muslimin sudah terlebih dahulu sampai. Pihak musuh saat itu bersiap penuh. Penguasa Heraklius mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah di sekitar Syam. Selain itu didatangkan juga bantuan tentara yang terdiri dari orang Yunani dan orang Arab. Sejarah mengisahkan jumlah pasukan Rumawi yang bersiaga mencapai dua ratus ribu orang.

Ketika mengetahui jumlah yang akan dihadapi begitu jauh dari perkiraan, banyak dari para sahabat yang merasakan kekhawatiran. Namun, Abdullah bin Rawahah yang dikenal berani dan suka bersyair itu dengan lantang berkata: "Saudaraku, apa yang tidak kita senangi, justru itu yang kita cari sekarang ini, kita memerangi mereka bukan karena kehebatan senjata, bukan karena kekuatan dan juga bukan karena jumlah yang besar. Kita perangi mereka hanya karena kita mencinta agama yang dengannya Allah memuliakan kita.

Marilah saudaraku, kita maju. Kita rengkuh satu dari dua pahala : menang atau mati syahid". Dan semangat para sahabat kembali menyala. Dengan mengucap basmalah, mereka kembali maju mendekati musuh.Di perbatasan Balqa', desa Masyarif, akhirnya kedua pasukan bertemu, kaum Muslimin mengelak ke daerah Mu'tah sebuah desa di pinggiran Syam yang mereka anggap dapat dijadikan kubu pertahanan. Perang berkecamuk. Mu'tah mengabadikan keagungan iman para ksatria yang melawan dengan jumlah musuh tak sebanding. Zaid sebagai panglima melesat ke tengah peperangan seperti anak panah lepas dari busur tanpa sedikit keraguan pun. Kematian bukan hal yang ditakutinya, ia merindukan kemenangan atau mati syahid.

Helai cinta kepada Al-Musthafa terjalin begitu rapi, hingga Zaid terus mengingat senandung jaminan manusia berparas mempesona, masuk surga. Zaid terus bertempur, mengayun pedang, mengejar musuh dan mempertahankan bendera. Namun badannya tak mempunyai mata, beberapa tombak tak kuasa ia elak. Tombak-tombak musuh kian memburunya. Zaid tersungkur, wajahnya mencium jelita pasir yang bersimbah merah. Bendera tetap berada dalam genggaman. Ia rasakan tubuhnya semakin ringan, padahal kulitnya tak lagi sempurna, tak ada celah selain robek akibat ratusan tombak para sang durja. Sejeda kemudian, ada nafas terhembus dari raga sang panglima.

Degup jantungnya berhenti, tak ada lagi denyut nadi. Panji Islam, tertancap agung di sebelahnya. Kibarnya mengangkasakan ruh yang disambut para bidadari dari surga. Kekasih Rasulullah pergi, temui Rabb yang Maha Tinggi.Ja'far melesat mengais bendera dan kini bendera berkibar di tangan pemberaninya. Kecamuk perang kian berdentang. Pedang beradu pedang, tombak melayang tak kenal arah, kepala terpenggal, dada tertembus, belum lagi pekikan. Dan pabila terdengar gema Allahu Akbar, maka semakin banyak dada para pemberani membusung menjemput musuh. Bau amis menyeruak pengak.

Ja'far melaju ke tengah kancah. Tak ada rasa takut yang hinggap, ia menyambut para penyerangnya. Mu'tah bersaksi, banyak bibir sahabat tersenyum menyongsong penghilang kesenangan. Tak terkecuali dengan sang pengganti panglima, Segera ia melompat dari kuda kebanggaan. Sekali tebas, kaki-kaki kekar kudanya telah terbelah. Bukan, bukan ia tak mengenal kasih sayang, ia hanya khawatir kudanya kelak menjadi tunggangan musuhnya. Kini ia berada di pepasir Mu'tah, mengayun pedang dan mempertahankan bendera. Panji kebangggan Islam, terus terbumbung di angin sahara.

Bau udara tak lagi sama. Ja'far terus menyongsong pasukan Rumawi sepenuh keimanan dalam hatinya. Sebuah syair ia bumbungkan ke angkasa. Deru angin membantu menghantar syairnya menembus langit dan pendengaran para prajuritnya : Oh semerbak surga kian mendekat Segar dan sejuk gemericik air minumnya Ada banyak kemilau tahta di sana Dan Rum,Adalah Rum yang dekat azabnya,Kafir dan sangat jauh hubungan nasabnya Bila bertemu, ku kan segera memenggal mereka

Detik selanjutnya, sebilah pedang terhunus merenggut sebelah tangan kanan pemegang bendera. Ja'far mundur. Tangan sebelah kirinya masih sempurna, wajah tampan yang mirip dengan raut Rasulullah itu masih tersenyum meraih panji kebanggan. Ia kembali melesat, menerjang pasukan berbaju besi. Dan kali ini tangan yang sebelah kiripun putus, dibabat penuh sang durja dari Romawi. Apakah Ja'far menangis pedih? Tidak, ia masih saja menerbangkan senyum kesyukuran, panji Islam tak boleh jatuh. Ia mendekap amanah Rasulullah dengan sisa tangan dan dadanya. Panji tetap berada di ketinggian. Ja'far memandang kibar bendera di angkasa, membayangkan seraut wajah yang melimpahinya kesayangan, wajah rembulan Al-Musthafa. Ingin sekali ia melaju lagi, namun badannya kini terbelah, pedang musuh begitu pongah.

Pepasir Mu'tah menyambut sang syuhada. Ja'far rubuh menyusul panglima pertama. Awan berarak, udara bergerak, suara semakin memekak, namun tubuh Ja'far sunyi. Setelah Ja'far syahid, Abdulllah bin Rawahah lah yang kini menyambut panji amanah Rasulullah. Dengan berkuda ia meraih bendera, sementara ia berfikir untuk turun, ia ragu sejenak. Mengenang sang pemberi amanah, langsung ia mengenyahkan keraguan dalam hatinya. "Kenapa engkau masih membenci surga wahai Abdullah," itulah yang dikatakannya kepada dirinya sendiri. Dengan hati lapang, ia maju sebagai panglima yang ketiga. Dan ternyata pilihannya tidak salah, ia pun syahid menyusul panglima-panglima kebanggaan Rasulullah.

Akhirnya setelah syahidnya Abdullah maka para sahabat melakukan pemilihan pemimpin pasukan, dan jatuhlah pilihan kepada bahu Khalid bin Walid yang terkenal ahli strategi perang. Khalid yang melihat kekuatan musuh begitu tangguh sedangkan semangat pasukan muslim kian melemah, mengatur siasat. Anak buahnya di posisikan berpencar dengan jumlah yang kecil. Posisi itu memanjang dan berada di belakang sisa pasukan. Ketika pagi tiba, pasukan yang berpencar itu melakukan hiruk pikuk yang riuh rendah hingga menimbulkan kesan bala bantuan datang dari pasukan Nabi.

Dan memang kesan itu membuat gentar pihak musuh, mereka berfikir beribu kali untuk melakukan pertempuran. Pihak Rumawi kemudian memerintahkan pasukannya mundur. Hingga kesempatan ini digunakan Khalid juga untuk menarik pasukannya kembali ke Madinah. Pertempuran ini tidak memberikan kemenangan bagi ke dua belah pihak. Pasukan Muslimin pulang tanpa kemenangan dan juga kekalahan.***Berita petaka Mu'tah, segera sampai. Nabi berduka.

Bergegas, langkahnya menuju rumah para panglima yang menjadi syuhada.Tiba di rumah Zaid bin Harits yang merupakan anak angkatnya, saat itu tak seperti biasanya Nabi menangis atas sebuah kematian, hingga para sahabat yang menyaksikan bertanya-tanya dan khawatir. "Duhai manusia pilihan, mengapakah engkau menangisi sebuah kepergian ?" tanya mereka kepada Nabi.
Lembah madinah menjadi saksi, ketika bibir manis sang Al-Musthafa mendendangkan sebuah jawaban: "Ini adalah tangisan seorang kekasih kepada kekasihnya".Untuk Ja'far, Al-Musthafa menggemakan suaranya di lengang udara "Aku, Muhammad, telah melihat Ja'far bersenang dalam Jannah memiliki dua sayap berbulu putih, berlumur darah".

Dan untuk mereka bertiga, yang telah syahid sebagai panglima, sebagai ksatria di taman sejarah, dalam satu peristiwa yang sama, dalam ekspedisi Mu'tah. Nabi berkata, "Mereka telah diangkat ke surga dan berada di ranjang emas"***Berbahagialah para perindu surga seperti mereka. Tidakkah kita menginginkan kenikmatan bertemu bidadari yang menurut Nabi, kerudung yang menyapu kepalanya saja tak pernah akan sebanding dengan keindahan yang pernah kau saksikan di dunia. Tidakkah kau memendam keinginan untuk tamasya ke sana? Menjumpai bidadari.

Membuktikan syair Ibnul Qayyim dalam kasidahnya:
Kami bidadari jelita,Abadi..., suci..., pelepas dahaga
Pandanglah kami, dan kau kan mampu berkaca
Untuk apa ada sebening cermin Jika ada pipi merona
Dan senyuman mutiara Pasangan kami Orang yang mulia

Thursday, August 11, 2005

[^] Kualitas Keimanan Kita

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi.” (QS al-Hajj: 11).

Pernyataan Allah tersebut menggugah kita sebagai hamba-hambaNya untuk senantiasa memahami posisi diri: sedang dalam keadaan berimankah atau masih berada di tepi. Orang yang berada di tepi ini tak lain adalah orang yang mengaku beriman kepada Allah tetapi tidak dengan penuh keyakinan. Tanda-tandanya, jika memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan demikian (QS al-Hajj: 11). Kebaikan-kebaikan tersebut tidak membuatnya tergugah untuk meningkatkan keimanan atau rasa syukur kepada Allah.

Yang perlu diingat, orang yang berada dalam keadaan demikian sangat labil jiwanya. Sehingga, Allah mengingatkan, “Jika orang tersebut ditimpa suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang” (QS al-Hajj: 11), atau kembalinya ia kepada kekafiran atau ingkar kepada Allah.

Tanda-tanda yang disebutkan Allah di atas kiranya sudah cukup jelas dan mungkin tidak sedikit dilakukan oleh sebahagian kita. Kita tidak menyadari kalau sedang menikmati kebaikan-kebaikan yang diberikan Allah, sehingga semua itu jarang disyukuri dengan mempertebal keimanan kepadaNya. Sedangkan ketika sedikit merasa terjepit, segala cara yang dilarang dan bahkan mengundang laknat Allah, dilakukan, tak terkecuali menjadi murtad.

Keadaan kita yang demikian sesungguhnya merugikan diri kita sendiri. Sebagaimana peringatan Allah, “Rugilah ia (yang demikian itu) di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata (QS al-Hajj: 11).

Monday, August 08, 2005

[+] Berbahagialah Meski Mendapat Musibah

Membaca judul di atas mungkin Anda bertanya-tanya, apakah saya tak salah tulis. Anda mungkin berkata, ''Bukankah akan lebih berbahagia kalau kita sama sekali tak punya masalah?'' Kalau demikian, Anda salah besar! Dimana ada kehidupan, disitu pasti ada permasalahan. Namun, tahukah Anda bahwa di balik setiap masalah terkandung suatu peluang emas dan kesempatan yang besar untuk maju?
Ada kata-kata bijak dari Norman V Peale yang patut Anda renungkan. Dalam bukunya You Can If You Think You Can, ia mengatakan, ''Apabila Tuhan ingin menghadiahkan sesuatu yang berharga, bagaimanakah Ia memberikannya kepada Anda? Apakah Ia menyampaikan dalam bentuk suatu kiriman yang indah dalam nampan perak? Tidak! Sebaliknya Tuhan membungkusnya dalam suatu masalah yang pelik, lalu melihat dari jauh apakah Anda sanggup membuka bungkusan yang ruwet itu, dan menemukan isinya yang sangat berharga, bagaikan sebutir mutiara yang mahal harganya yang tersembunyi dalam kulit kerang.''

Pernyataan di atas bukan sekedar kata-kata indah untuk menghibur Anda yang sedang kalut menghadapi suatu masalah. Ini adalah perubahan paradigma dan cara berpikir. Keadaan apa pun yang kita hadapi sebenarnya bersifat netral. Kita lah yang memberikan label positif atau negatif terhadapnya. Seperti yang dikatakan filsuf Cina, I Ching, ''Peristiwanya sendiri tidak penting, tapi respon terhadap peristiwa itu adalah segala-galanya.''

Berikut ini contoh sederhana. Sebagai seorang fasilitator yang memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, saya pernah menghadapi penolakan dari klien semata-mata karena usia saya yang dianggap terlalu muda. Saya pernah menganggap ini masalah besar. Bagaimana tidak? Ini menyangkut kredibilitas saya. Saya kemudian memikirkannya berhari-hari. Kepercayaan diri saya mulai terganggu.

Lama-kelamaan saya sadar bahwa penolakan semacam ini adalah hal biasa. Justru ini adalah kesempatan untuk berkembang. Karena itu, saya segera menggali kebutuhan klien dan mencari pendekatan yang lebih dapat diterima. Saya terus meningkatkan kompetensi, sampai akhirnya saya dapat diterima oleh perusahaan tersebut. Kalau demikian, penolakan awal itu sama sekali bukan sebuah masalah, tapi sebuah peluang yang sangat berharga.
Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh. Sayang, lebih banyak orang yang menganggap masalah sebagai sesuatu yang harus dihindari. Mereka tak mampu melihat betapa mahalnya mutiara yang terkandung dalam setiap masalah. Ibarat mendaki gunung, ada orang yang bertipe Quitters. Mereka mundur teratur dan menolak kesempatan yang diberikan oleh gunung. Ada orang yang bertipe Campers, yang mendaki sampai ketinggian tertentu kemudian mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat yang datar dan nyaman untuk berkemah. Mereka hanya mencapai sedikit kesuksesan tapi sudah merasa puas dengan hal itu.

Tipe ketiga adalah Climbers yaitu orang yang seumur hidupnya melakukan pendakian, dan tak pernah membiarkan apapun menghalangi pendakiannya. Orang seperti ini senantiasa melihat hidup ini sebagai ujian dan tantangan. Ia dapat mencapai puncak gunung karena memiliki mentalitas yang jauh lebih tinggi, mengalahkan tingginya gunung. Orang dengan tipe ini benar-benar meyakini apa yang pernah dikatakan Dag Hammarskjold, ''Jangan pernah mengukur tinggi sebuah gunung sebelum Anda mencapai puncaknya. Karena begitu ada di puncak, Anda akan melihat betapa rendahnya gunung itu.''

Semua masalah sebenarnya adalah rahmat terselubung bagi kita. Mereka ''berjasa'' karena dapat membuat kita lebih baik, lebih arif, lebih bijaksana, dan lebih sabar. Anda baru dapat disebut manajer yang baik kalau Anda mampu memimpin seorang bawahan yang sulit, yang membuat para manajer lain angkat tangan. Anda baru menjadi orang tua yang baik kalau Anda dapat menangani anak yang bermasalah, atau pun menantu yang keras kepala, yang melakukan sesuatu melebihi batas kesabaran Anda. Anda baru dapat disebut profesional kalau Anda mampu menangani pelanggan yang cerewet yang sering mengeluh dan banyak maunya.

Untuk mencapai kesuksesan Anda perlu memiliki adversity quotient, yaitu kecerdasan dan daya tahan yang tinggi untuk menghadapi masalah. Kecerdasan tersebut dimulai dari merubah pola pikir dan paradigma Anda sendiri. Mulai lah melihat semua masalah yang Anda hadapi sebagai peluang, kesempatan, dan rahmat. Anda akan merasa tertantang, namun tetap mampu menjalani hidup yang tenang dan damai.

Berbahagialah jika Anda memiliki masalah. Itu artinya Anda sedang hidup dan berkembang. Justru bila Anda tak punya masalah sama sekali, saya sarankan Anda segera berdoa, ''Ya Tuhan. Apakah Kau tak percaya lagi padaku, sehingga Kau tak mempercayakan satu pun kesulitan hidup untuk saya atasi?'' Dengan berdoa demikian Anda tak perlu khawatir. Tuhan amat mengetahui kemampuan kita masing-masing. Ia tak akan pernah memberikan suatu beban yang kita tak sanggup memikulnya.
Have a nice day ...^_^

Friday, August 05, 2005

[*] Siklus Kemenangan dan Kekalahan

Dalam banyak firman dan ayat-Nya, Allah seringkali mengisyaratkan pada kita, bahwa kemenangan dan kekalahan itu selalu dipergilirkan. Seperti roda, kata orang-orang tua. Kadang di atas, ada saatnya pula berada di bawah.

Begitu juga dengan perjalanan sejarah dunia. Dulu pada zamannya, bangsa Romawi adalah pemimpin peradaban dunia. Lalu ia turun dan digantikan oleh bangsa lainnya. Lalu kaum Muslim memimpin peradaban dengan segala konsepnya. Melahirkan orang-orang pilih tanding, baik dari sisi akhlak dan moral, maupun intelektual dan ilmu pengetahuan. Tapi seperti kata Allah, kemenangan dan kekalahan selalu dipergilirkan.
Dan kini peradaban sedang dipimpin oleh bangsa Barat, diwakili oleh Amerika sebagai pencetus komandonya. Tapi sekali lagi, roda pasti berputar, bagaimana pun kuatnya laju putaran ditahan. Sesungguhnya, bukan saja tentang waktu, tapi lebih dari itu, kemenangan adalah soal persiapan. Siapapun yang paling siap untuk menang, maka ia akan menempati urutan pertama mendapatkan giliran kemenangan selanjutnya. Siapapun yang lebih lengkap persyaratannya untuk menang, waktu hanya tinggal giliran. Pertanyaan itulah yang seharusnya kita ajukan pada diri sendiri, pada komunitas kita, pada kaum yang mendambakan kemenangan. Sudah sejauh mana persiapan, persyaratan dan mental sebagai pemenang telah disiapkan?
Bagi para pemimpi, teruslah bermimpi tentang kemenangan dan kebangkitan. Semuanya tak akan pernah terjadi, tanpa membangun persiapan.
Tapi, bagi orang-orang yang membangun mimpinya menjadi kenyataan, kemenangan hanya sasaran antara. Sama sekali bukan tujuan. Pada masanya, dalam Perang Khandaq, pasukan Ahzab yang mengepung dan melumpuhkan penghuni Madinah sempat meniriskan harapan kaum Muslimin. Lalu Rasulullah berseru pada orang-orang beriman, “Sesungguhnya tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat!”
Itulah tujuan kemenangan yang paling tinggi. Kemenangan akhirat. Kemenangan yang bisa dicapai, baik ketika kemenangan dunia ada di tangan atau tidak. Maha Suci Allah yang selalu benar atas janji-Nya. Tiada seorang pun yang memenangkan akhirat, kecuali kemenangan dunia akan menjadi miliknya juga. Karena Allah telah berjanji, siapapun yang menolong agamanya, Allah akan menolongnya dan memberikan kemenangan dunia untuknya.
Jika hari ini kemenangan itu belum tiba untuk kita, bukan berarti musuh yang begitu perkasa. Tapi bisa jadi, karena kita kehilangan arah. Kehilangan kemenangan sejati, memperjuangkan agama Allah yang mulia.
Tentang kasus walikota Depok... Hanya Allah semanta yang berhak memberikan amanah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Kita hanya wajib berusaha untuk mempertahankan dengan segala yang kita bisa karena kita yakin kita telah melewati proses dengan Haq.
Innal bathila kana zahuqa...
[pasca putusan kontroversial dari gedung PT Jabar yang menganulir kemenangan pasangan dari partai dakwah]

Wednesday, August 03, 2005

[+] God Works in a Mysterious Way

Ketika Tuhan berkata "TIDAK"

Ya Tuhan ambillah kesombonganku dariku.
Tuhan berkata, "Tidak. Bukan Aku yang mengambil, tapi kau yang harus menyerahkannya."

Ya Tuhan sempurnakanlah kekurangan anakku yang cacat.
Tuhan berkata, "Tidak. Jiwanya telah sempurna, tubuhnya hanyalah sementara."

Ya Tuhan beri aku kesabaran.
Tuhan berkata, "Tidak. Kesabaran didapat dari ketabahan dalam menghadapi cobaan tidak diberikan, kau harus meraihnya sendiri."

Ya Tuhan beri aku kebahagiaan.
Tuhan berkata, "Tidak. Kuberi keberkahan, kebahagiaan tergantung kepadamu sendiri."

Ya Tuhan jauhkan aku dari kesusahan.
Tuhan berkata, "Tidak. Penderitaan menjauhkanmu dari jerat duniawi dan mendekatkanmu pada Ku."

Ya Tuhan beri aku segala hal yang menjadikan hidup ini nikmat.
Tuhan berkata, "Tidak. Aku beri kau kehidupan supaya kau menikmati segala hal."

Ya Tuhan bantu aku MENCINTAI orang lain, sebesar cintaMu padaku.
Tuhan berkata... "Ahhhh, akhirnya kau mengerti !"

Sedikit Renungan :
Kadang kala kita berpikir bahwa Tuhan tidak adil, kita telah susah payah memanjatkan doa, meminta dan berusaha, pagi-siang-malam, tapi tak ada hasilnya.

Kita mengharapkan diberi pekerjaan, puluhan-bahkan ratusan lamaran telah kita kirimkan tak ada jawaban sama sekali -- orang lain dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan.

Kita sudah bekerja keras dalam pekerjaan mengharapkan jabatan, tapi justru orang lain yang mendapatkannya tanpa susah payah.

Kita mengharapkan diberi pasangan hidup yang baik dan sesuai, berakhir dengan penolakkan dan kegagalan-orang lain dengan mudah berganti pasangan.

Kita menginginkan harta yang berkecukupan, namun kebutuhan terus meningkat.

Coba kita bayangkan diri kita seperti anak kecil yang sedang demam dan pilek, lalu kita melihat tukang es.
Kita yang sedang panas badannya merasa haus dan merasa dengan minum es dapat mengobati rasa demam(maklum anak kecil).

Lalu kita meminta pada orang tua kita (seperti kita berdoa memohon pada Tuhan) dan merengek agar dibelikan es. Orangtua kita tentu lebih tahu kalau es dapat memperparah penyakit kita. Tentu dengan segala dalih

kita tidak dibelikan es. Orangtua kita tentu ingin kita sembuh dulu baru
boleh minum es "susu murni nasional"yang lezat itu.

Begitu pula dengan Tuhan, segala yang kita minta Tuhan tahu apa yang paling baik bagi kita. Mungkin tidak sekarang, atau tidak di dunia ini Tuhan mengabulkannya. Karena Tuhan tahu yang terbaik yang kita tidak tahu.


Kita sembuhkan dulu diri kita sendiri dari "pilek" dan "demam".... dan terus berdoa.

"There's a time and place for everything, for everyone. God works in a mysterious way."

[syukron kepada ***s atas kiriman email ini, barakallahu lak]


Monday, August 01, 2005

[^] Bening Hati

Suatu hari, Rasulullah sedang duduk di masjid dikelilingi para sahabat.Beliau tengah mengajarkan ayat-ayat Qur'an. Tiba-tiba Rasulullah berhenti sejenak dan berkata,"Akan hadir diantara kalian seorangcalon penghuni surga". Para sahabat pun bertanya-tanya dalam hati,siapakah orang istimewa yang dimaksud Rasulullah ini?. Dengan antusias mereka menunggu kedatangan orang tersebut. Semua mata memandang ke arah pintu.

Tak berapa lama kemudian, seorang laki-laki melenggang masuk masjid.Para sahabat heran, inikah orang yang dimaksud Rasulullah? Dia tak lebih dari seorang laki-laki dari kaum kebanyakan. Dia tidak termasuk di antara sahabat utama. Dia juga bukan dari golongan tokoh Quraisy.Bahkan, tak banyak yang mengenalnya. Pun, sejauh ini tak terdengar keistimewaan dia.

Ternyata, kejadian ini berulang sampai tiga kali pada hari-hari selanjutnya.Tiap kali Rasulullah berkata akan hadir di antara kalian seorang calon penghuni surga, laki-laki tersebutlah yang kemudian muncul.
Maka para sahabat pun menjadi yakin, bahwa memang laki-laki itulah yang dimaksud Rasulullah. Mereka juga menjadi semakin penasaran, amalan istimewa apakah yang dimiliki laki-laki ini hingga Rasulullah menjulukinya sebagai calon penghuni surga?

Akhirnya, para sahabat pun sepakat mengutus salah seorang di antara mereka untuk mengamati keseharian laki-laki ini. Maka pada suatu hari, sahabat yang diutus ini menyatakan keinginannya untuk bermalam di rumah laki-laki tersebut. Si laki-laki calon penghuni surga mempersilakannya.

Selama tinggal di rumah laki-laki tersebut, si sahabat terus-menerus mengikuti kegiatan si laki-laki calon penghuni surga. Saat si laki-laki makan, si sahabat ikut makan. Saat si sahabat mengerjakan pekerjaan rumah, si sahabat menunggui. Tapi ternyata seluruh kegiatannya biasa saja. "Oh, mungkin ibadah malam harinya sangat bagus," pikirnya. Tapi ketika malam tiba, si laki-laki pun bersikap biasa saja. Dia mengerjakan ibadah wajib sebagaimana biasa. Dia membaca Qur'an dan mengerjakan ibadah sunnah, namun tak banyak. Ketika tiba waktunya tidur, dia pun tidur dan baru bangun ketika azan subuh berkumandang.

Sungguh, si sahabat heran, karena ia tak jua menemukan sesuatu yang istimewa dari laki-laki ini. Tiga malam sang sahabat bersama sang calon penghuni surga, tetapi semua tetap berlangsung biasa. Apa adanya.
Akhirnya, sahabat itu pun pun berterus terang akan maksudnya bermalam.Dia bercerita tentang pernyataan Rasulullah. Kemudian dia bertanya,"Wahai kawan, sesungguhnya amalan istimewa apakah yang kau lakukan sehingga kau disebut salh satu calon penghuni surga oleh Rasulullah? Tolong beritahu aku agar aku dapat mencontohmu".

Si laki-laki menjawab," Wahai sahabat, seperti yang kau lihat dalam kehidupan sehari-hariku. Aku adalah seorang muslim biasa dengan amalan biasa pula. Namun ada satu kebiasaanku yang bisa kuberitahukan padamu.Setiap menjelang tidur, aku berusaha membersihkan hatiku. Kumaafkan orang-orang yang menyakitiku dan kubuang semua iri, dengki, dendam dan perasaaan buruk kepada semua saudaraku sesama muslim. Hingga aku tidur dengan tenang dan hati bersih serta ikhlas. Barangkali itulah yang menyebabkan Rasulullah menjuluki demikian."

Mendengar penjelasan itu, wajah sang sahabat menjadi berseri-seri."Terima kasih kawan atas hikmah yang kau berikan. Aku akan memberitahu para sahabat mengenai hal ini". Sang sahabat pun pamit dengan membawa pelajaran berharga.

***
Kawan, kisah di atas barangkali tak lagi asing. Namun tiada rugi untuk ditutur kembali. Surga bukan hanya hak para wali, nabi, syuhada dan ulama. Jika kita merasa hanyalah orang kebanyakan, itu tak berarti kita tak berhak atas nikmat surga. Karena amalan kecil pun bisa menjadi kunci masuk surga. Dan ternyata kebersihan hati itu sangat besar nilainya.

Jangan pernah berputus asa atas rahmatNya. Sungguh Dia Maha Pemberi Karunia.Insya Allah, jika kita ikhlas, tulus dan mengerjakan penuh cinta, Dia takkan menyia-nyiakan hambaNya. Wallahu a'lam