Sekarang ini, setiap harinya entah berapa banyak manusia yang mengawali pagi harinya dengan tiada sedikitpun rasa semangat dalam diri. Anggapan bahwa hari ini tidak akan lebih baik dari hari kemarin selalu mengubah caranya berpikir. Akibatnya jelas, hal-hal yang tidak semestinya terjadi, terjadi.
Di lain sisi, banyak juga manusia yang merasa Allah tidak berlaku adil terhadapnya. Dilihatnya kehidupan temannya di sekitar, ada diantara mereka yang mengenderai mobil ketika menuju ke kantor, ada juga diantara mereka yang mengendarai motor besar ketika ke kantor, sedangkan dia hanya menumpang bus kota yang penuh sesak dengan manusia lain.
Ada juga pribadi yang tidak sabar ketika menerima sebuah cobaan hidup padanya. Masih begitu segar dalam ingatan kita, betapa siaran kriminal di televisi akhir-akhir ini sungguh teramat menyedihkan. Seorang pengusaha yang memilih untuk terjun dari apartemennya hanya karena tidak mampu lagi membayar hutang, kisah seorang pelajar yang menggantungkan dirinya hanya karena tidak mampu membayar uang sekolah, ada juga kisah seorang yang meminum baygon karena memang sudah tidak mampu lagi menahan cacian dan makian orang sekitar. Sungguh teramat tragis ending dari perjalanan hidup mereka. Mungkin mereka lupa bahwa akan ada kehidupan setelah kehidupan di dunia ini, kalaulah kiranya mereka ingat bahwa membunuh diri adalah hal yang sangat dilarang dalam agama bahkan termasuk dalam tujuh kategori dosa besar mungkin mereka akan berpikir ulang sebelum mengambil keputusan yang sangat kontraversial tersebut.
Lalu muncul sebuah pernyataan dari realita diatas, apa memang begitu caranya menanggapi sebuah permasalahan yang menimpa dalam diri kita?
Mari coba kita perhatikan ayat berikut (Q.S Al-Ankabuut 1-3) :
1. Alif laam miim
2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
3. Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ayat ini menghentakkan sekaligus menyadarkan kita tentang urgensi dan esensi dari rangkaian ujian yang telah, sedang, dan akan kita jalani dalam proses perjalanan hidup di dunia ini. Bahwa memang Allah sengaja menguji hamba-Nya dengan berbagai macam ujian dan cobaan yang kalau kita cermat memperhatikan, ujian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sangat beragam.
Ayat diatas juga menyebutkan bahwa ujian adalah sebuah keniscayaan bagi mereka yang mengaku beriman kepada Allah, karena hakikat orang yang beriman akan senantiasa konsisten dengan keimanannya apapun dan bagaimanapun kondisinya, baik dalam keadaan senang ataupun sedih. Kelak, akan terlihat siapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan siapa yang bersifat oportunis. Oportunis adalah mereka yang sewaktu-waktu mengatakan beriman padahal sebenarnya mereka tidak beriman, mereka mencoba untuk membohongi Allah dan orang-orang yang benar-benar beriman lainnya, atau dalam bahasa lain oportunis inilah mereka kaum munafik seperti yang telah Allah gambarkan dalam awal surat Al-Baqarah.
Tentu bukan tanpa maksud Allah memberikan cobaan kepada hamba-Nya. Selain untuk mengetahui siapa yang benar-benar beriman, ujian juga untuk meningkatkan derajat manusia. Nah inilah yang jarang disadari oleh kita. Bukankah setiap ujian Allah yang berhasil kita lewati dengan baik akan semakin meningkatkan derajat kita di hadapan Allah? Bukankah ketinggian derajat Rasulullah karena memang beliau senantiasa mendapat ujian oleh Allah dalam mengemban risalah-Nya? Bukankah ketinggian derajat para shahabat setelah mereka ditimpa ujian oleh Allah? Diantara mereka ada yang telah dijanjikan syurga oleh Rasulullah itu setelah mereka mengorbankan harta, jiwa bahkan keluarganya untuk Islam. Diantara mereka ada yang meninggal dengan dicincang dan dicabik-cabik tubuhnya, ada juga yang mati di tiang gantungan, ada juga yang mati dengan puluhan tusukan dan goresan pedang. Tapi mereka berhasil melewati itu semua dan mereka akhirnya mendapatkan derajat yang teramat tinggi dihadapan Allah.
Ketika kita menerima cobaan hidup dari Allah, kita terkadang terlalu hiperbolik dengan menganggap seolah-olah kita adalah makhluk yang paling sengsara di muka bumi ini, dan tak jarang pula kita menganggap bahwa Allah telah berlaku tidak adil hanya kepada diri kita. Sejenak mungkin kita lupa, bahwa disekitar kita ada banyak manusia yang diberikan ujian yang teramat jauh dan berat dibandingkan kita. Kalau kita mencoba jujur pada diri kita, kita akhirnya menemukan sebuah jawaban, rupanya musibah yang menimpa diri kita itu belum seberapa jika dibandingkan dengan orang lain. Jika kita telah menyadari itu, patutkah kita bersenang karena ujian kita lebih ringan dibandingkan dengan orang lain? Sikap itupun sepertinya kurang tepat, karena semakin tinggi ujian yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya maka semakin tinggi pula derajat hamba tersebut. Dalam sebuah hadist diriwayatkan, bahwa Allah akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya sesuai dengan kadar/derajat hamba tersebut, jika dia berhasil melewati ujian tersebut dengan baik maka derajatnya akan dinaikkan dan akan ditimpakan musibah yang lebih berat lagi dari sebelumnya. Berarti jelas, kita patut khawatir jika musibah yang menimpa kita sangatlah ringan, jangan-jangan derajat kita sangat rendah di hadapan Allah.
Seperti ujian kenaikan kelas, itulah mungkin gambaran yang bisa mendekati arti hadist diatas. Soal ujian yang diberikan kepada murid kelas 1 tentu berbeda kualitasnya dengan murid kelas 2. Pada saat pembagian rapot, murid kelas 1 yang berhasil mengerjakan ujian dengan baik maka dia akan naik kelas 2, dan di kelas 2 nanti dia akan menghadapi soal ujian yang lebih berat dari kelas 1, bagi yang tidak mampu mengerjakan soal ujian dengan baik maka dia tinggal kelas, itu menunjukkan kualitas belajarnya patut dipersoalkan.
Jadi, apa yang menjadi masalah kita hari ini, mari coba kita renungkan bersama. Ambillah sebuah ballpoint dan tulis semua. Setelah kita tulis, kita baru mengetahui bahwa ujian kita sangat sedikit dan sangat rendah kualitasnya, lalu atas landasan apa kita tidak bisa bersabar dalam menghadapi ujian ini? Bukankah kita ingin naik kelas?
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Di lain sisi, banyak juga manusia yang merasa Allah tidak berlaku adil terhadapnya. Dilihatnya kehidupan temannya di sekitar, ada diantara mereka yang mengenderai mobil ketika menuju ke kantor, ada juga diantara mereka yang mengendarai motor besar ketika ke kantor, sedangkan dia hanya menumpang bus kota yang penuh sesak dengan manusia lain.
Ada juga pribadi yang tidak sabar ketika menerima sebuah cobaan hidup padanya. Masih begitu segar dalam ingatan kita, betapa siaran kriminal di televisi akhir-akhir ini sungguh teramat menyedihkan. Seorang pengusaha yang memilih untuk terjun dari apartemennya hanya karena tidak mampu lagi membayar hutang, kisah seorang pelajar yang menggantungkan dirinya hanya karena tidak mampu membayar uang sekolah, ada juga kisah seorang yang meminum baygon karena memang sudah tidak mampu lagi menahan cacian dan makian orang sekitar. Sungguh teramat tragis ending dari perjalanan hidup mereka. Mungkin mereka lupa bahwa akan ada kehidupan setelah kehidupan di dunia ini, kalaulah kiranya mereka ingat bahwa membunuh diri adalah hal yang sangat dilarang dalam agama bahkan termasuk dalam tujuh kategori dosa besar mungkin mereka akan berpikir ulang sebelum mengambil keputusan yang sangat kontraversial tersebut.
Lalu muncul sebuah pernyataan dari realita diatas, apa memang begitu caranya menanggapi sebuah permasalahan yang menimpa dalam diri kita?
Mari coba kita perhatikan ayat berikut (Q.S Al-Ankabuut 1-3) :
1. Alif laam miim
2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
3. Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ayat ini menghentakkan sekaligus menyadarkan kita tentang urgensi dan esensi dari rangkaian ujian yang telah, sedang, dan akan kita jalani dalam proses perjalanan hidup di dunia ini. Bahwa memang Allah sengaja menguji hamba-Nya dengan berbagai macam ujian dan cobaan yang kalau kita cermat memperhatikan, ujian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sangat beragam.
Ayat diatas juga menyebutkan bahwa ujian adalah sebuah keniscayaan bagi mereka yang mengaku beriman kepada Allah, karena hakikat orang yang beriman akan senantiasa konsisten dengan keimanannya apapun dan bagaimanapun kondisinya, baik dalam keadaan senang ataupun sedih. Kelak, akan terlihat siapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan siapa yang bersifat oportunis. Oportunis adalah mereka yang sewaktu-waktu mengatakan beriman padahal sebenarnya mereka tidak beriman, mereka mencoba untuk membohongi Allah dan orang-orang yang benar-benar beriman lainnya, atau dalam bahasa lain oportunis inilah mereka kaum munafik seperti yang telah Allah gambarkan dalam awal surat Al-Baqarah.
Tentu bukan tanpa maksud Allah memberikan cobaan kepada hamba-Nya. Selain untuk mengetahui siapa yang benar-benar beriman, ujian juga untuk meningkatkan derajat manusia. Nah inilah yang jarang disadari oleh kita. Bukankah setiap ujian Allah yang berhasil kita lewati dengan baik akan semakin meningkatkan derajat kita di hadapan Allah? Bukankah ketinggian derajat Rasulullah karena memang beliau senantiasa mendapat ujian oleh Allah dalam mengemban risalah-Nya? Bukankah ketinggian derajat para shahabat setelah mereka ditimpa ujian oleh Allah? Diantara mereka ada yang telah dijanjikan syurga oleh Rasulullah itu setelah mereka mengorbankan harta, jiwa bahkan keluarganya untuk Islam. Diantara mereka ada yang meninggal dengan dicincang dan dicabik-cabik tubuhnya, ada juga yang mati di tiang gantungan, ada juga yang mati dengan puluhan tusukan dan goresan pedang. Tapi mereka berhasil melewati itu semua dan mereka akhirnya mendapatkan derajat yang teramat tinggi dihadapan Allah.
Ketika kita menerima cobaan hidup dari Allah, kita terkadang terlalu hiperbolik dengan menganggap seolah-olah kita adalah makhluk yang paling sengsara di muka bumi ini, dan tak jarang pula kita menganggap bahwa Allah telah berlaku tidak adil hanya kepada diri kita. Sejenak mungkin kita lupa, bahwa disekitar kita ada banyak manusia yang diberikan ujian yang teramat jauh dan berat dibandingkan kita. Kalau kita mencoba jujur pada diri kita, kita akhirnya menemukan sebuah jawaban, rupanya musibah yang menimpa diri kita itu belum seberapa jika dibandingkan dengan orang lain. Jika kita telah menyadari itu, patutkah kita bersenang karena ujian kita lebih ringan dibandingkan dengan orang lain? Sikap itupun sepertinya kurang tepat, karena semakin tinggi ujian yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya maka semakin tinggi pula derajat hamba tersebut. Dalam sebuah hadist diriwayatkan, bahwa Allah akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya sesuai dengan kadar/derajat hamba tersebut, jika dia berhasil melewati ujian tersebut dengan baik maka derajatnya akan dinaikkan dan akan ditimpakan musibah yang lebih berat lagi dari sebelumnya. Berarti jelas, kita patut khawatir jika musibah yang menimpa kita sangatlah ringan, jangan-jangan derajat kita sangat rendah di hadapan Allah.
Seperti ujian kenaikan kelas, itulah mungkin gambaran yang bisa mendekati arti hadist diatas. Soal ujian yang diberikan kepada murid kelas 1 tentu berbeda kualitasnya dengan murid kelas 2. Pada saat pembagian rapot, murid kelas 1 yang berhasil mengerjakan ujian dengan baik maka dia akan naik kelas 2, dan di kelas 2 nanti dia akan menghadapi soal ujian yang lebih berat dari kelas 1, bagi yang tidak mampu mengerjakan soal ujian dengan baik maka dia tinggal kelas, itu menunjukkan kualitas belajarnya patut dipersoalkan.
Jadi, apa yang menjadi masalah kita hari ini, mari coba kita renungkan bersama. Ambillah sebuah ballpoint dan tulis semua. Setelah kita tulis, kita baru mengetahui bahwa ujian kita sangat sedikit dan sangat rendah kualitasnya, lalu atas landasan apa kita tidak bisa bersabar dalam menghadapi ujian ini? Bukankah kita ingin naik kelas?
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
No comments:
Post a Comment